Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropis yang terdiri atas sekitar 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.475 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar 95.181 km (Kusmana, 2008), dengan kondisi fisik lingkungan dan iklim yang beragam. Total luas wilayah Indonesia tersebut adalah sekitar 9 juta km2 yang terdiri atas 2 juta km2 daratan dan 7 juta km2 lautan (Polunin, 1983). Oleh karena itu Indonesia mempunyai ekosistem pesisir yang luas dan beragam yang terbentang pada jarak lebih dari 5.000 km dari timur ke barat kepulauan dan pada jarak 2.500 km dari arah utara ke selatan kepulauan. Salah satu wilayah pesisir di Indonesia adalah wilayah Pantai Utara Jawa. Banyak sekali ekosistem pesisir yang berada di wiliayah ini. Perkembangan zaman menyebabkan perubahan ekosistem di wilayah pesisir ini.
Wilayah Pantai Utara Pulau Jawa dikenal melalui Jalur Pantura (Pantai Utara) yang merupakan jalan nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Ketapang, Banyuwangi di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara Jakarta dan Surabaya.
Jalur Pantura melintasi 5 provinsi: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ujung paling barat terdapat Pelabuhan Merak, yang menghubungkannya dengan Pelabuhan Bakauheni di Pulau Sumatra, ujung paling selatan dari Jalan Trans Sumatera. Ujung paling timur terdapat Pelabuhan Ketapang yang menghubungkannya dengan Pelabuhan Gilimanuk di Pulau Bali. Jalur Pantura merupakan jalan yang menghubungkan bagian barat Pulau Jawa dan bagian timurnya.
Saat ini kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatirkan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang. Berikut merupakan beberapa krisis ekologi kelautan Pantura, antara lain :
1. Rusaknya Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai fungsi spesifik yang keberkelangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem daratan dan lautan. Dalam hal ini, mangrove sendiri merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang menyediakan berbagai jenis produk (produk langsung dan produk tidak langsung) yang berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan pelayanan lindungan lingkungan untuk menyangga sistem kehidupan masyarakat tersebut. Saat ini tanaman mangrove yang berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang. Parahnya, banyak kawasan hutan bakau yang jadi gundul karena ulah para pemodal yang melakukan konversi lahan. Dan para penguasa setempat membiarkannya saja, karena hal itu dinilai bisa menambah pemasukan daerah.
2. Biota Laut
Kehidupan biota laut terancam punah dan ikan-ikan menjauh ke lepas pantai sehingga tidak terjangkau oleh nelayan kecil. Ikan-ikan di laut Jawa ini sudah menjauh ke lepas pantai yang susah dijangkau oleh para nelayan dengan perahu kecil di samping itu juga seringnya gelombang tinggi terjadi di pantai sehingga para nelayan ini takut melaut. Ancaman kepunahan biota laut ini disebabkan oleh pencemaran dari limbah industri dan rumah tangga. Seperti diketahui, seluruh aktivitas masyarakat mengalirkan limbah tanpa melakukan pengolahan.
3. Abrasi Pesisir Pantai
Abrasi pantai sebagian besar terjadi pada pantai-pantai yang menghadap langsung arah laut lepas. Adapun pantai-pantai yang terlindung sedikit sekali terjadi abrasi. Erosi pada pinggir sungai relatif kecil karena masih adanya komunitas nipah yang menahan longsornya daratan. Pantai Utara Jawa Tengah pada umumnya merupakan daerah rawan abrasi. Umumnya abrasi terjadi akibat rusaknya sabuk hijau. Di beberapa daerah Barat, abrasi terjadi pada daerah yang berbentuk teluk terutama pada musim penghujan akibat pengaruh besarnya ombak, angin dan adanya arus Barat. Menurut survei Kementerian Kelautan dan Perikanan, abrasi pesisir pantai terparah terjadi di Pulau Jawa. Abrasi telah mengikis 10 meter dari bibir pantai dan hutan mangrove yang berfungsi sebagai pelindung biota laut dan tempat pemindahan ikan sudah hampir punah. Kerusakan Mangrove di Pantura telah mencapai sekitar 67 persen.
Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Berikut ini merupakan beberapa potensi bencana di wilayah Pantura, antara lain :
1. Banjir
Rob
Di Pantura, kondisi hidrologi dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit aliran dan beban sedimen yang tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan kondisi airtanah pada umumnya berasa payau hingga asin, yang hampir merata di seluruh satuan dataran pantai yang berlumpur (endapan aluvium). Kondisi hidrologi seperti ini merupakan faktor penyebab bahaya banjir fluvial (saat musim hujan) dan banjir rob (saat musim kemarau). Pantai Utara Jawa memililki kerawanan lingkungan relatif rentan terhadap pencemaran perairan sungai akibat limbah domestik (perkotaan) dan industri. Curah hujan yang tinggi pada daerah hulu (hinterland), sedangkan daerah hilir (low land) berupa dataran dengan material lempung dan sedimentasi yang intensif, dapat menyebabkan banjir musiman dan genangan.
Di Pantura, kondisi hidrologi dikontrol oleh aliran sungai-sungai dengan debit aliran dan beban sedimen yang tinggi, khususnya pada musim penghujan, dan kondisi airtanah pada umumnya berasa payau hingga asin, yang hampir merata di seluruh satuan dataran pantai yang berlumpur (endapan aluvium). Kondisi hidrologi seperti ini merupakan faktor penyebab bahaya banjir fluvial (saat musim hujan) dan banjir rob (saat musim kemarau). Pantai Utara Jawa memililki kerawanan lingkungan relatif rentan terhadap pencemaran perairan sungai akibat limbah domestik (perkotaan) dan industri. Curah hujan yang tinggi pada daerah hulu (hinterland), sedangkan daerah hilir (low land) berupa dataran dengan material lempung dan sedimentasi yang intensif, dapat menyebabkan banjir musiman dan genangan.
2. Pembuangan Limbah
Akselerasi pertumbuhan industi di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah mengakibatkan gundulnya hutan mangrove disekitarnya. Ditambah pula pembangunan pelabuhan industri terpadu, dan tempat-tempat wisata tepi pantai di Kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan yang mengakibatkan, pendangkalan sungai, sedimen laut dan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang. Pantura semakin parah kondisinya dengan melimpahnya limbah industri di perairan tersebut. Sebelah barat Kabupaten Brebes dan Timur hingga Kabupaten Rembang pesisir pantainya rusak berat akibat sampah dan limbah pabrik.
Akselerasi pertumbuhan industi di kawasan daratan dan pesisir Pantai Utara telah mengakibatkan gundulnya hutan mangrove disekitarnya. Ditambah pula pembangunan pelabuhan industri terpadu, dan tempat-tempat wisata tepi pantai di Kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban banyak mengahasilkan limbah buangan yang mengakibatkan, pendangkalan sungai, sedimen laut dan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang. Pantura semakin parah kondisinya dengan melimpahnya limbah industri di perairan tersebut. Sebelah barat Kabupaten Brebes dan Timur hingga Kabupaten Rembang pesisir pantainya rusak berat akibat sampah dan limbah pabrik.
3. Penurunan
Permukaan Tanah
Guru
Besar Oseanografi Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor Safwan Hadi
menjelaskan berdasarkan hasil penelitian, pada saat ini terjadi penurunan
permukaan tanah di Jakarta sebesar 12 centimeter per tahun karena beban
bangunan dan pengambilan air tanah. Dengan demikian, diharapkan kekhawatiran
terhadap akan tenggelamnya ibukota Jakarta bisa diminimalisir atau dihilangkan
sama sekali. Pantai Utara Jawa
pada daerah hulu dan daerah hilir berupa dataran dengan material lempung yang
bersifat plastis dengan daya dukung rendah, sehingga apabila terlalu besar
mendapatkan beban di atasnya, dapat menyebabkan amblesan (subsidence), yang
dapat memicu kejadian banjir pasang (banjir rob).
Dengan adanya perubahan ekosistem serta ancaman bencana tersebut, diharapkan kita sebagai masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi dalam menjaga keutuhan serta kelestarian ekosistem di wilayah pesisir, khususnya di daerah Pantai Utara Jawa. Peranan masyarakat serta pemerintah sangatlah penting bagi terciptanya ekosistem pesisir, sehingga hal ini nantinya juga akan bermanfaat bagi kedupan masyarakat sekitar.
Dengan adanya perubahan ekosistem serta ancaman bencana tersebut, diharapkan kita sebagai masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi dalam menjaga keutuhan serta kelestarian ekosistem di wilayah pesisir, khususnya di daerah Pantai Utara Jawa. Peranan masyarakat serta pemerintah sangatlah penting bagi terciptanya ekosistem pesisir, sehingga hal ini nantinya juga akan bermanfaat bagi kedupan masyarakat sekitar.
Sumber Referensi :
http://geoinfo.amu.edu.pl/qg/archives/2012/QG313_047-055.pdf
http://www.wetlands.org/LinkClick.aspx?fileticket=rv2jbvHx%2BHw%3D&tabid=56
https://www.academia.edu/5093207/ekologi_dan_potensi_bencana_di_wilayah_pantai_utara_jawa
http://eprints.undip.ac.id/40753/2/02-BAB_01.pdf
saya sangat prihatin sekali, sering kali banyak yg peduli lingkungan khususnya pesisir pantai utara hanya bicara permasalahannya saja, namun tindak lanjut penanggulangan permasalahan tidak ada realisasi sama sekali, padahal dampak daripada rusaknya ekosistem laut sangat berpengaruh pada perekonomian masyarakat, bukan hanya masyarakat pesisir pantai namun juga masyarakat keseluruan. ayo mulai kita bahas permasalahan yg selama ini tidak kunjung diperbaiki dan semakin bertambah parah, kami mengundang pada semua pakar ekologi, dan pecinta lingkungan alam mohon kiranya ada tindakan kami masyarakat akan mendukung dengan upaya apapun.
BalasHapus